Kamis, 03 Oktober 2013

Sahabat Lama Datang Kembali

Tiba-tiba salah satu ekor dari mereka mengamuk. Aku berusaha menenangkannya. Aku adalah seorang pengembala kambing. Aku tidak sekolah sedari kecil. Aku hidup di rumah yang sangat sederhana. Beratapkan daun kelapa dan berdinding triplek yang sudah rapuh.

Hanya ada aku sendiri di dalamnya. Keluargaku entah kemana. Sejak kecil aku di rawat oleh nenek. Sekarang, beliau sudah meninggal akibat penyakitnya, yaitu stroke.

Suatu petang, seseorang datang menghampiriku ketika aku sedang berada di teras depan rumah. Menggunakan pakaian rapi. Berdasi. Memakai jam. Ber-kacamata. Aku menatap kosong. Kami berjabat tangan. Sunyi. Sepi. Tidak ada seorang pun kecuali aku dan orang itu. Sampai akhirnya, dia membuka kaca matanya.

“Maaf, anda siapa?” tanyaku dengan rasa takut.
“Firman?”
“Loh kok anda tahu nama saya?”
“Kamu masih ingat, dulu ketika kecil kita suka mandi di kali depan rumah pak toro?” jawab dia sambil membenarkan dasinya.
“F…FA..FAHMI?” Ucapku dengan penuh gugup.
“Iya,.. aku fahmi. Sahabatmu waktu kecil”

Betapa bahagianya aku ketika tau kalau yang datang, adalah sahabat ku waktu kecil. Aku menyuruh fahmi masuk. Sementara aku, mengambil air tawar untuk fahmi. Duduklah kami didalam rumah yang sempit. Ber-alas kan Koran. Kami menceritakan tentang kehidupan yang sekarang kami dijalani. Awalnya aku ragu untuk bercerita. Malu. Tapi karena dia adalah sahabat ku, maka aku mencoba memberanikan diri untuk bercerita. Dari hal yang terindah, sampai hal yang tersedih. Yap, menjadi pengembala kambing yang setiap minggunya hanya di beri upah Rp.2.500. Kadang, untuk makan saja aku harus meminta singkong di kebun tetangga. Kadang pula, aku tidak makan. Fahmi diam. Perlahan dia meneteskan air matanya. Aku mencoba menenangkan fahmi. Fahmi tetap menangis.

“Fahmi, jangan nangis gitu, aku jadi nggak enak nih sama kamu” ujarku sembari mengelus-elus dada belakang fahmi.
“Iya fir, kamu yang sabar ya” ucap fahmi sambil mengelap air matanya.
“Diminum dulu, mi, airnya”

Aku mengajak fahmi untuk keluar. Melihat hewan gembalaku. Fahmi senyum-senyum sendiri. Pikirku, ‘pasti fahmi suka sama hewan gembala ku’. Beberapa menit kemudian, fahmi mengajak ku untuk makan di luar. Aku awalnya nggak enak sama dia. Seharusnya kan aku yang memberi dia makan.
“Fir, makan di luar yuk? Aku laper”
“Mmm.. ngg.. iya deh. Maaf ya aku ngerepotin kamu”
“Iya, nggak papa kok. Yang ada, aku yang ngerepotin kamu”

Aku menutup pintu rumah. Lalu, kami menuju warung makan. Kira-kira jaraknya sekitar 2km dari rumah ku. Menggunakan kendaraan sepeda motor yang dibawa oleh fahmi. Di jalan, kami sembari mengingat-ingat masa lalu, sampai-sampai, rumah makan itu kelewatan.

Sesampai di depan rumah makan, fahmi langsung memarkirkan kendaraannya. Mengajak ku masuk. Duduk lah aku dikursi yang bagus. Sedangkan fahmi sedang memesan makanan. Aku celingak-celinguk kebingungan melihat satu alat elektronik. Yaitu, tv. Di kampungku, tidak ada warga yang mempunyai alat elekronik seperti ini. Aku bengong.

Fahmi datang membawa makanan. Aku kaget. Melihat makanan yang begitu mewah dihadapanku. Rasa senang dan haru datang menyelimuti fahmi, ketika tak sengaja melihat aku yang tersenyum memandangi makanan yang belum pernah aku makan ini.

"Fir, ayo dimakan”
“He’eh, iya makasih”

Kami makan. Di atas meja yang ber-tatakkan kain batik. Aku makan dengan lahapnya. Kebetulan, aku sedang lapar. Tiba-tiba, ada pelayan datang ke meja kami. Menawarkan minum.

“Mas, mau minum apa?”
“Hmm.. air tawar aja, mba” Ucap fahmi.

Kami selesai makan. Pelayan belum juga datang membawa minum. Sembari menunggu, kami bernostalgia ketika waktu kecil. Mulai dari sering berenang bareng di kali, memetik mangga di kampung sebelah, dan masih banyak lagi. Aku tak henti-hentinya ketawa ketika fahmi menceritakan kalau dia pernah lari dikejar-kejar oleh warga, gara-gara mengambil jambu tanpa seizin yang punya.

“Mas, ini minumnya. Maaf lama” Ucap pelayan sembari menaruh minum di meja.

“Oh iya mba, nggak papa” Fahmi menjawab dengan nada yang masih tertawa.
Fahmi berdiri. Mengeluarkan dompet. Mengambil lembaran rupiah. Menuju ke tempat pembayaran.
“Mba, berapa total semuanya?”
“40 ribu, mas”

Fahmi membayar. Aku keluar terlebih dahulu dari rumah makan. Kenyang. Nikmat. Sampai-sampai aku tahak beberapa kali. Fahmi kemudian keluar, sembari memasukan kembalian ke dalam kantong celananya.

Tanpa basa-basi, fahmi langsung mengambil motornya. Aku naik. Menuju ke rumah ku.

Sampai di rumah, fahmi langsung pamitan kepadaku. Mau pulang katanya. Ada tugas yang belum terselesaikan. Aku memeluk fahmi. Sempat, aku berbisik ditelinga fahmi.

“Mi, makasih ya, kapan-kapan kamu main ke rumah ku lagi ya”
“Iya, fir, sama-sama. Pasti!”

Fahmi berangkat. Menggunakan kendaraan kesayangannya.

Bersambung...

0 Komentar:

Posting Komentar

Terima kasih udah baca tulisan gue. Silakan komentar yang sesuai dengan isi postingan yang tadi kamu udah baca. Jangan ninggalin link, tenang aja pasti bakal dapet feedback dari gue kok. Happy Blogging!

- Irfan Alharits (@irfanalharits)