Saat itu pukul delapan malam, jalan raya yang tepat berada di depan tempat biasa aku melampiaskan emosi lewat sebuah tulisan semakin sepi. Lalu lalang kendaraan tidak seramai pagi ataupun sore saat jam pulang kantor. Secangkir kopi yang berisi segenggam cerita, menemani dengan setia setelah seharian lelah mengajar di sebuah sekolah berkebutuhan khusus.
Aku menikmati setiap tegukan. Harga kopi yang lumayan mahal ini membuat diriku ingin berlama-lama menghabiskannya. Café MIArt ini memang cukup terkenal. Selalu ramai pengunjung. Tetapi tidak untuk malam ini. Sebab seharian penuh diguyur oleh hujan. Hanya ada aku dan sepasang kekasih yang sedang asik berbincang mengenai rencana pernikahannya.
“Pakai adat Jawa aja ya, Sayang..” ucap si laki-laki.
“Hmm.. oke deh.” balas perempuannya.
“Yaudah.. besok kita ke Butik, ya.”
“Iya.”
Percakapan itu yang tidak sengaja aku dengar ketika ingin kembali duduk setelah mencuci muka karena merasa ngantuk. Perempuan itu mengenakan kerudung berwarna merah, bercorak bunga yang terlihat sangat matching dengan bajunya. Sesekali ia memeluk si laki-laki, menunjukkan bahwa ia senang bukan kepayang. Sebab tujuan hidupnya akan segera tercapai.
Aku bahagia melihatnya, meskipun posisi ia membelakangi. Sehingga tidak tampak seperti apa wajahnya. Tiba-tiba ada yang mengalihkan pandanganku ketika sedang asik menuliskan sebuah cerita yang berisi tentang sepasang kekasih yang berada di café tersebut. Seseorang di sebrang jalan dengan kemejanya yang licin, melotot memandangiku.
Lalu aku sesegera mungkin menghampiri orang itu, sebab beberapa kali ia mengisyarakatkan agar aku berhadapan langsung dengannya. Ukuran tubuhnya sama seperti manusia pada umumnya, di tangannya digenggam sebuah kertas berwarna putih.
“Kamu siapa?” aku berusaha memberanikan diri untuk memulai obrolan.
“Tidak perlu tahu,” jawabnya.
“Baiklah, apa tujuan kamu ke sini?”
“Di dalam tempatmu bersantai, ada sepasang kekasih.”
“Iya, lalu?”
“Ambil kertas ini. Bacalah ketika kamu sudah duduk kembali.”
Ia pergi begitu saja. Langkahnya sangat cepat. Aku kembali menyeruput cangkir kopi kedua yang telah aku pesan sebelumnya, untuk menenangkan diri yang hampir kencing di celana karena merasa gugup. Perlahan semakin surut, sampai akhirnya habis. Tidak ada satu tetes pun yang tersisa. Setelah menyimpan seluruh draft hasil tulisanku malam ini, aku berniat untuk pulang.
Belum beranjak dari kursi, aku berusaha bertanya kepada diriku sendiri. Ada sesuatu yang mengganjal yang membuat tubuhku berat untuk melangkah.
“Ah iya, kertas yang tadi diberikan belum aku baca.” hati kecilku bicara.
Aku keluarkan dari saku celana. Lecak sekali. Nampak dari luar terlihat sebuah kalimat yang cukup panjang, namun tidak begitu jelas. Semakin penasaran, aku perlahan membuka gumpalan kertas tersebut. Membaca dengan tangan gemetar.
“Coba kamu perhatikan dua sejoli itu. Si laki-laki bukan seperti orang baik-baik. Wajahnya yang kusam, potongan rambut yang menyerupai anak punk, ditambah dengan tattoo di tangannya, menunjukkan bahwa dia sebenarnya belum siap untuk menikah. Jika hanya untuk merawat dirinya sendiri saja masih berantakan, bagaimana bisa merawat orang lain. Juga kamu perhatikan respon dari setiap pelukan yang diberikan pasangannya. Wajahnya terlihat datar, menandakan bahwa ia cuma main-main.”
Aku terhenyak. Berhenti membaca. Heran mengapa orang tersebut bisa mengetahui cukup banyak hal, sementara ia datang hanya sebentar, lalu pergi. Kemudian aku lanjut membacanya.
“Apa kamu sudah melihat wajah si perempuan? Apakah bahagia atau justru menderita bahwa semua yang dilakukannya adalah paksaan dari si laki-laki lantaran ia mempunyai hutang, dan itu adalah bayarannya? Tahukah kalau si perempuan tidak melakukan perintah si laki-laki untuk bermesraan di depan orang lain, ia akan dipukuli? Dan, tahukah kamu kalau perempuan itu adalah istrimu?”
Seketika hatiku seperti dicabit-cabit. Sakit, sangat sakit. Saking tidak kuat menahan, tanpa basa-basi aku dengan sigap memukul laki-laki tersebut. Istriku kaget karna ia tidak tahu bahwa ada aku di café itu. Situasi semakin memanas, tiada hentinya aku memukulinya hingga terjatuh.
"Ini istri gua! Lo berani macem-macem lagi, leher bisa hilang." ancam aku yang tingkat emosinya sudah berada di puncak.
Tanpa membantah ancamanku, dia terbangun, lalu lari terbirit-birit.
"Ini istri gua! Lo berani macem-macem lagi, leher bisa hilang." ancam aku yang tingkat emosinya sudah berada di puncak.
Tanpa membantah ancamanku, dia terbangun, lalu lari terbirit-birit.
“Kamu kenapa tega melakukan ini, istriku?” tanyaku dengan air mata yang terus menetes.
Ia tidak sanggup menjawab. Hanya diam. Menunduk.
Hening.
Tiba-tiba ada cahaya yang menerangi.
“Bangun Mas, sudah pagi. Katanya mau ada meeting.” seruan istriku.
Ternyata hanya mimpi. Ah, untungnya.
cool! gue sampe ikut kebawa turun naik emosinya hahaha
BalasHapusterima kasih :)
HapusLumayan seru juga :))
BalasHapusAzeg Ijal main ke sini. Tunggu cerita-cerita selanjutnya ya
HapusGue kirain ini cerita horror Fan .___.
BalasHapusHorror dari mananya, Devaaa? Ini pasti karna judul. Iya kan? :D
Hapussama kayak deva ,aku kira ceritanya horor,ternyata salah :) waah untung dalam cerita ini hanya mimpi ya :D
BalasHapusTertipu sama judul niyee
Hapusiya nih,hehe
HapusPersis kayak dua komentar di atas, awalnya gue ngira ini cerita serem wkwkwkwk.
BalasHapusSoalnya sosok yang ada disebrang jalan itu misterius banget sampe bisa tau banget tentang permasalahan sepasang kesasih yang ada di cafe itu. But, cara lo cerita keren. Feelnya dapet banget. Bikin gue, sebagai pembaca, ngerasa kebawa emosi pas ngebacanya...
Oh.. karna sosok misterius itu. Muehehe.. Thank you! :)
HapusItu sosok misteriusnya siapa cobaaaa?
BalasHapusUdah deg-degan ngebaca ceritanya, taunya mimpi :(
Siapa hayoo.. coba tebak. :p
HapusAnjir... aku sangka itu beneran kejadian cuma mimpi...
BalasHapusMuehehe..
Hapuskirain beneran ternyata hanya mimpi :D
BalasHapusSyukurlah ini cumak mimpi :D
BalasHapusBro, gue minta gmail elu dong. ada yang gue mau omongin.
BalasHapuspadahal udah kebawa emosi ehh taunya cuma mimpi #bhakkk
BalasHapus